Posted by: schariev | October 14, 2012

Curug Sanghyang Taraje, Tangga Menuju Langit.

Image

Kabupaten Garut memiliki sejuta pesona keindahan alam yang dapat membuat orang yang menyaksikannya berdecak kagum. Kawasan selatannya berbukit-bukit dan berujung di pantai berpasir putih, menyembunyikan sejumlah air terjun dan sungai berair jernih di sela bukit-bukit hijaunya.

Sebagian air terjun sudah cukup terkenal kerap menjadi tujuan wisata. Begitu pun dengan sungai berarus deras seperti Sungai Cisanggiri dan Cikandang yang menjadi pilihan warga yang hobi berarung jeram. Namun, tidak sedikit juga keindahan alam di Garut belum diketahui banyak orang, di antaranya Curug Sanghyang Taraje.

Air terjun di Kampung Kombongan, Desa Pakenjeng, Kecamatan Pamulihan, ini sangat jarang dikunjungi wisatawan, berbeda dengan Curug Orok yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Curug Sanghyang Taraje.

Ketika Curug Orok dikunjungi wisatawan hampir tiap hari atau minimal pada akhir pekan, Curug Sanghyang Taraje cenderung sepi pengunjung. Curug yang dapat terlihat langsung dari jalan desa Pakenjeng ini seringnya hanya dijamah warga yang mencari kayu bakar dan rumput untuk pakan ternaknya.

Padahal, pesona Curug Sanghyang Taraje tidak kalah indah dan unik dengan sejumlah air terjun lainnya di selatan Jawa Barat. Puncak air terjun setinggi sekitar 90 meter dari kolam di bawahnya ini terdiri atas dua jalur tumpahan air terjun. Sehingga, dua jalur air terjun ini membentuk dua garis vertikal pararel berjeda sekitar lima meter.

Air terjun kembar ini diapit dua bukit yang dirimbuni hutan. Curug Sanghyang Taraje berada di atas tebing dan airnya mengalir ke Sungai Cikandang melewati kolam air terjun dan sungai berbatu. Jika pengunjung berdiri di posisi dan waktu yang tepat, lengkung pelangi yang terbentuk akibat butiran air dari Curug Sanghyang Taraje dan terpaan sinar matahari bisa terlihat.

Dinamai sebagai Curug Sanghyang Taraje karena bentuk curug tersebut mirip  tangga atau dalam dalam Bahasa Sunda disebut “taraje”, kata Anah (60), warga sekitar yang tengah memungut kayu bakar di sekitar curug. Berdasarkan legenda setempat, ujarnya, Sangkuriang menggunakan curug ini untuk mencapai langit dan mengambil bintang untuk Dayang Sumbi.

Di dasar air terjun tersebut, tuturnya, terdapat batu besar berbentuk tapal kaki raksasa yang hanya dapat terlihat saat kolam air terjun surut. Selain itu, ujarnya, berdasarkan cerita yang disampaikan turun-menurun dari leluhurnya, di balik curug terdapat pintu rahasia menuju ruangan berisi harta karun yang dijaga ular besar.

“Namanya juga cerita, boleh percaya boleh tidak. Yang jelas, seunik apapun ceritanya, tetap saja curug ini sepi pengunjung. Ramainya kalau libur pas Lebaran, sampai pengunjung dimintai karcis. Paling, warga sekitar yang mencari kayu bakar atau rumput untuk ternak saja yang ke sini kalau hari biasa,” kata Anah saat ditemui di sekitar curug, Senin (17/9).

Curug Sanghyang Taraje dapat ditempuh dari pusat perkotaan Garut selama sekitar tiga jam. Dari Jalan Raya Bayongbong, perjalanan berlanjut ke arah Bungbulang sampai masuk ke Kecamatan Pamulihan. Dari gerbang kecamatan ini, jalan menuju curug berkondisi rusak dengan aspal yang terkelupas serta menyisakan bebatuan dan pasir.

Selain itu, jalan yang sempit pun hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Turunan dan tanjakan tajam dengan jurang dan tebing di kedua sisi jalan pun harus dilalui menuju curug tersebut. Pemandangan perkebunan teh, deretan bukit hijau, dan jajaran tebing, mengawal perjalanan menuju lokasi curug.

Namun, setelah sampai di kawasan curug, kelelahan dan ketegangan akibat perjalanan panjang terhapus oleh pesona keindahan Curug Sanghyang Taraje. Air terjun layaknya tangga menuju langit ini bagaikan menunggu para pemburu harta karun keindahan alam untuk menjelajahi dan menikmati pesona alamnya.

Posted by: schariev | June 19, 2012

Curug Malela, Niagara dari Tatar Sunda


Butiran air memerciki dan menyeka keringat yang menempel di wajah. Udara segar mengisi paru, mengusir napas berat yang telah mengiringi perjalanan satu kilometer menuruni bukit dengan berjalan kaki. Mata terpaku pada sebuah curug selebar sekitar 60 meter dan setinggi 50 meter.

Telinga kian dimanjakan dengan deru jutaan liter air yang turun dan menghantam bebatuan di tebing dan dasar curug. Sejenak, tubuh terpaku dengan telapak kaki berpijak di atas bebatuan besar, berdecak kagum sambil menyaksikan keagungan dan keindahan Curug Malela.

Di balik dan sela jalur turunnya air curug, terlihat batuan cadas berwarna hitam mengkilap. Curug di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, ini diapit dua bukit yang dipenuhi pepohonan hijau dan deretan tebing. Air yang mengalir dari Curug Malela cukup jernih. Seakan mengajak pengunjung untuk bermain air di sungai dan kolam alami sekitar curug, membenamkan kaki yang lelah, atau berfoto di atas bebatuannya.

Curug Malela merupakan bagian dari aliran Sungai Cidadap yang berhulu di lereng Gunung Kendeng. Sepanjang sepanjang dua kilometer setelah Curug Malela, aliran Sungai Cidadap ini kembali berkelok melewati enam undakan curug yang lebih kecil, mulai dari Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan Curug Pameungpeuk, yang kemudian bermuara di Cisokan.

Warga dan pengunjung kerap menjuluki air terjun di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur ini sebagai Niagara mini. Sebab, bentuk Curug Malela yang tinggi dan melebar mengingatkan mereka terhadap bentuk Air Terjun Niagara yang juga lebar di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada.

Jarak dari Kota Bandung ke Curug Malela mencapai sekitar 80 kilometer. Dari Kota Bandung, wisatawan bisa mengambil rute Kota Cimahi-Batujajar-Cililin-Sindangkerta-Gununghalu-Rongga. Selain itu, Curug Malela di Desa Cicadas ini pun bisa ditempuh melalui rute Cipatat-Saguling-Cipongkor-Rongga.

Menuju curug di ujung Kabupaten Bandung Barat ini, jalan beraspal hanya bisa dinikmati sampai kawasan Desa Cibedug, Kecamatan Rongga. Sekitar 10 kilometer selanjutnya, sampai di ujung Jalan Desa Cicadas, hanya terdapat jalan berbatu, berpasir, dan berlumpur. Selain itu, jalan yang sebagian besar belum pernah tersentuh aspal ini memiliki permukaan bergelombang, lebih cocok untuk trek off road.

Jalan Desa Cicadas ini berujung di Kampung Manglid. Kendaraan tidak bisa mencapai lokasi Curug sehingga harus memarkirkannya di lapangan parkir di ujung jalan. Setelah itu, pengunjung harus menelusuri jalan setapak. Sebagian jalan setapak ini sudah dibangun menggunakan beton dan bebatuan sehingga pengunjung bisa dengan nyaman berjalan di atas ratusan anak tangga.

Ratusan meter kemudian, jalan setapak beralas beton ini berujung di kawasan pesawahan. Pengunjung pun harus menyusuri pematang sawah berundak sepanjang puluhan meter. Selanjutnya, jalan setapak berdasar tanah dan bebatuan akan mengantarkan pengunjung sampai Curug Malela. Jalan setapak ini terus menurun dan diteduhi rimbunan berbagai jenis pohon di lereng bukit tersebut.

Belum banyak masyarakat yang mengetahui dan mengunjungi Curug Malela. Entah karena jaraknya yang jauh, infrastruktur jalan menuju curug yang teramat buruk, atau kurangnya promosi. Kebanyakan, informasi mengenai curug ini justru beredar di sejumlah blog milik para penjelajah alam atau pesepeda.

Seorang pengunjung asal Belanda, Myranda Oosthoek (27), mengatakan dia mendapat informasi mengenai Curug Malela dari sebuah blog. Myranda kemudian mengajak tujuh temannya untuk mengunjungi Curug Malela setelah mereka mengunjungi berbagai objek wisata di Ciwidey minggu kemarin.

“Saya tidak tahu kalau jalan menuju ke sini sangat parah. Untung saya ke sini bersama tiga teman dari Rotterdam dan enam teman dari Bandung, jadi tidak takut kalau tersesat. Walaupun berputar dulu ke Bandung dan melewati jalan yang panjang, semua terbayar ketika sampai di Malela,” kata Myranda saat ditemui di lapangan parkir setelah mengunjungi Curug Malela, Senin (28/5).

Menurut Myranda, semua pengunjung hendaknya menyisakan tenaga yang cukup setelah sampai di Curug Malela. Sebab, perjalanan pulang kembali ke lapangan parkir dengan kondisi menanjak sangat melelahkan. “Saya beristirahat sampai tiga kali di perjalanan kembali dari Malela ke lapangan parkir,” kata perempuan yang mengaku telah mendaki Gunung Papandayan ini.

Posted by: schariev | January 1, 2012

Badai Matahari 2012

Tahun 2012 telah datang. Bagi sebagian orang, pergantian tahun ini mungkin tidak akan begitu saja disambut dengan suka cita seperti perayaan pergantian tahun sebelumnya. Mereka yang telah menonton film berjudul “2012” yang bercerita tentang bencana besar yang akan melanda bumi pada 2012 atau telah mengetahui isu-isu yang mengatakan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun depan, sedikitnya akan merasa resah.

Isunya, tahun depan, tepatnya tangga 21 Desember 2012, akan terjadi badai matahari yang menimbulkan berbagai bencana mematikan di bumi. Oleh para penganut teori katastrofi, badai matahari besar tersebut dihubungkan dengan penanggalan suku Maya yang mengatakan bahwa akhir dunia atau kiamat memang terjadi pada tanggal yang terbilang cantik tersebut.

Kepala Observatorium Bosscha, Dr Hakim Luthfi Malasan, sependapat bahwa badai matahari memang akan terjadi pada tahun 2012. Bahkan, diperkirakan akan terjadi juga pada tahun 2013. Badai matahari ini, ujarnya, merupakan siklus alami setiap 11 tahun sekali.

“Artinya aktivitas matahari meningkat setiap 11 tahun sekali. Awalnya, matahari akan menjulurkan lidah api atau flare sepanjang 2 sampai 3 juta kilometer berkekuatan setara dengan miliaran bom atom. Flare ini akan menimbulkan partikel berenergi dan berkecepatan tinggi. kemudian partikelnya akan sampai ke bumi sekitar delapan menit kemudian,” ujar Hakim saat ditemui di Observatorium Bosscha, Lembang, Selasa (27/12).

Partikel berenergi tinggi ini, kemudian akan menembus lapisan magnetosfer dan bisa saja membuat sejumlah satelit buatan manusia yang mengorbit di angkasa mengalami kerusakan dan akhirnya jatuh bebas ke bumi. Inilah, ujarnya, yang harus diwaspadai karena bisa saja terjadi hujan satelit.

Badai matahari sendiri, kata Hakim, tidak pernah menimbulkan bencana seperti gempa atau lainnya. Namun, bisa menimbulkan gangguan pada gaya elektromagnetik yang ada di bumi. Partikel berenergi tinggi yang ditimbulkan badai matahari, katanya, bisa meninggikan gaya elektromagnetik bumi.

Akibat hantaman partikel ini, jaringan telekomunikasi akan rusak, pembangkit listrik bisa langsung mati, berbagai peralatan elektronik seperti handphone, komputer, televisi, ATM, dan radio pun tidak akan berfungsi bahkan rusak.

Akhirnya, manusia akan kembali pada zaman kegelapan. Semua tatanan kehidupan manusia yang telah menginjak zaman serba teknologi tinggi ini, ujarnya, akan sedikit mengalami kelumpuhan.

“11 tahun lalu terjadi badai matahari yang cukup besar. Untungnya, belum banyak perangkat berteknologi tinggi waktu itu sehingga dampaknya hanya sedikit. Sekarang kan sudah sangat pesat kemajuannya. Masyarakat yang terbiasa dengan navigasi, telekomunikasi, dan listrik, akan mengalami kesulitan,” kata Hakim.

Apabila dilihat dari grafik tahunannya, aktifitas matahari menunjukan grafik naik turun seperti jejeran bukit. Pada titik-titik tertentu, matahari akan menghasilkan flare yang menimbulkan badai matahari. Fase sekarang, ujarnya, matahari terus berada pada tingkat minimum.

Inilah, katanya, yang membuat khawatir. Sebab, apabila aktivitas matahari terus berada dalam posisi minimum, dikhawatirkan aktivitasnya akan tiba-tiba melonjak naik dan menghasilkan badai matahari berefek mengerikan.

Akibat lonjakan ini, katanya, beberapa tahun lalu Inggris Raya sempat beku karena jaringan listriknya rusak. Pada 2003, badai matahari pun telah membuat kawasan Kanada dan Alaska mengalami mati lampu, jaringan telekomunikasi rusak, dan sejumlah generator dan dinamo meleleh. Badai matahari pada 2005 pun membuat sejumlah penerbangan mengalami penundaan akibat kekacauan navigasi.

Badai matahari yang menyebabkan matinya berbagai sistem berteknologi tinggi ini, kata Hakim, bisa saja menimbulkan anarkisme dan huru-hara di masyarakat. Dampak psikologis inilah yang perlu juga dikhawatirkan.

Pada Natal 2011, kata Hakim, dirinya mendapatkan laporan bahwa matahari telah mengeluarkan flare, Minggu (25/12) pukul 21.00, yang menimbulkan badai yang cukup besar. Akibatnya, sejumlah jaringan telekomunikasi sempat terganggu.

Pada tanggal tersebut, katanya, jaringan ponsel sempat terganggu. Dirinya pun menyangsikan kalau gangguan hanya disebabkan oleh sibuknya jaringan pada hari libur itu. Sebab, sejumlah ATM pun mengalami gangguan.

“Tapi saya belum berani mengatakan bahwa gangguan pada Natal kemarin ini akibat flare. Sebab, belum diteliti. Tapi, gangguan pada Natal ini jauh lebih buruk daripada Lebaran yang jelas-jelas disebabkan oleh sibuknya jaringan,” kata Hakim.

Dalam jangka panjang, ujarnya, badai matahari pun akan menimbulkan perubahan cuaca. Sebab, cosmic ray yang dihasilkan akibat aktifitas matahari mempengaruhi pembentukan awan. Akibatnya, badai matahari yang berarti naiknya aktivitas matahari dapat membuat pembentukan awan semakin banyak.

Akhirnya, akan terjadi badai el nino yang berarti musim panas berkepanjangan dan badai la nina yang berarti musim hujan yang berkepanjangan.

“Apapun bisa terjadi di tahun 2012. Tidak usah ditakuti tetapi harus tetap diwaspadai. Ada baiknya jika mulai sekarang kita membiasakan diri untuk tidak terlalu tergantung pada alat-alat elektronik dan kembali pada sistem manual,” ujarnya.

Badai matahari, katanya, tidak bisa diprediksi apalagi jika ditetapkan pada tanggal 21 Desember 2012 seperti yang diungkapkan para penganut teori katastrofi. Masyarakat, ujarnya, telah sangat cerdas sehingga tidak akan mudah percaya pada isu kiamat tersebut.

Yang jelas, pada tahun 2012, akan terjadi fenomena antariksa yang unik selain hujan meteor dan gerhana. Yakni, oposisi Planet Mars pada maret 2012 dan transit Planet Venus pada Juni 2012. Mars akan terlihat purnama dari Bumi dan Venus akan berada di antara Bumi dan matahari.

Kaisar Hongwu (1328 – 1398), pendiri Dinasti Ming, terkenal akan kedekatannya dengan komunitas Muslim Hui. Beliau memerakarsai rekonstruksi sejumlah masjid yang telah didirikan semasa pemerintahan Dinasti Tang, Dinasti Song, dan Dinasti Yuan. Selain itu, beliau juga membangun sejumlah masjid baru di Xian, Nanjing, Xining, Yunnan, Guangdong, Fujian, dan kota-kota lainnya.

Saat Kaisar Hongwu berkuasa, Nanjing yang kala itu dijadikan sebagai Ibu Kota Kekaisaran Cina dibanjiri oleh Muslim Hui yang berimigrasi dari berbagai penjuru wilayah Cina. Muslim Cina saat itu memiliki posisi yang penting dalam struktur pemerintahan, bidang perdagangan, pendidikan, bahkan kemiliteran. Kaisar Hongwu mengangkat lebih dari 10 jenderal dari kalangan Muslim, di antaranya adalah Chang Yuchun, Lan Yu, Mu Ying, Feng Sheng, Hu Dahai, Ding Dexing, Hala Bashi, dan Zheng He (Laksamana Cheng Ho).

Selain itu, Kaisar Hongwu sempat menulis sebuah puisi yang terdiri dari seratus kata. Puisi ini berisi sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, Islam, dan Allah. Pada awalnya, puisi ini hanya terukir pada sebuah monumen batu di halaman Masjid Jing Jue di Nanjing saja. Namun kini, puisi ini dapat ditemukan di berbagai masjid di Cina, tak ketinggalan Masjid Dongguan yang didirikan oleh Sang Kaisar. Berikut adalah puisi tersebut:

Seratus Kata Sanjungan

Semenjak penciptaan alam semesta
Surga telah menunjuk
Sang Pengajar Iman Agung

Dari Barat Dia lahir
Untuk menerima Kitab Suci

Dengan tiga puluh bagian kitab
Menuntun semua makhluk hidup

Raja dari segala Raja
Pemimpin para orang suci

Dengan dukungan dari langit
Melindungi bangsanya

Dengan lima ibadah tiap hari
Dalam hening mengharap kedamaian

Dengan hati tertuju pada Allah
Membantu yang tidak mampu
Menyelamatkan mereka dari malapetaka

Melihat yang tidak terlihat
Menarik sekalian jiwa dan batin
Jauh dari perbuatan dosa

Belas kasih pada dunia
Menulusuri jalan masa lalu yang terkarunia
Membasmi kejahatan untuk selamanya

Agama murni dan sejati
Muhammad,
Yang Mulia dan Agung

Posted by: schariev | September 25, 2011

Masjid Raya Dongguan, Konsep Arsitektur Tradisional Cina

Pagi itu, puluhan ribu Muslim dari berbagai penjuru kota Xining bergegas menuju sebuah masjid raya yang berada di kawasan timur kota. Walaupun masjid ini berpredikat sebagai salah satu tempat ibadah termegah di wilayah Barat Laut Cina, Masjid Raya Dongguan tetap tidak bisa menampung seluruh jamaah yang hendak beribadah. Akibatnya, jamaah yang datang lebih siang harus rela beribadah di luar kompleks masjid. Barisan saf pun bisa berderet hingga ratusan meter dari pagar kompleks masjid dan memenuhi seluruh badan jalan di sekitarnya. Hal semacam ini selalu terjadi sekurangnya dua kali dalam setahun di Masjid Dongguan, yaitu ketika pelaksanaan shalat Idulfitri dan Iduladha.

Masjid Raya Dongguan terletak di Kota Xining, Provinsi Qinghai, Republik Rakyat Cina. Dinamai Dongguan, sebab masjid ini berada di Jalan Dongguan. Pemerintah Cina memang mewajibkan semua bangunan fasilitas umum dinamai sesuai dengan nama jalan atau kawasannya dan melarang menamainya dengan bahasa asing, tak terkecuali tempat ibadah.

Penduduk Xining berjumlah lebih dari 2,1 juta jiwa. Sekitar 17 persen atau 330 ribu di antaranya beragama Islam. Mayoritas Muslim berasal dari suku Hui, Salar, Baoan, Dongxiang, dan Tibet. Masjid Dongguan adalah yang terbesar di antara 239 masjid lainnya di Xining. Selain menjadi pusat peribadatan Muslim, masjid ini juga berperan sebagai salah satu pusat pendidikan Islam paling terkemuka di kota Xining dan Cina bagian barat.

Menurut prasasti yang terdapat di lingkungan masjid, sejatinya masjid yeng terletak di Dataran Tinggi Tibet ini pertama kali dibangun tatkala Kaisar Hongwu memerintah Dinasti Ming (1368 – 1398). Selama enam abad setelahnya, masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi. Kompleks masjid yang berdiri hingga saat ini adalah hasil rekonstruksi pada tahun 1914, perluasan pada tahun 1946, renovasi pada tahun 1979, dan penambahan sejumlah fasilitas pada tahun 1998. Kini, Masjid Dongguan memiliki lahan seluas 13.602 meter persegi.

Rekonstruksi besar-besaran pada tahun 1914 tidak serta-merta mengganti gaya bangunan lama Masjid Dongguan dengan ragam arsitektur lain. Pembangunan kembali aula shalat utama, madrasah, dan gerbang tengah masjid tetap mempertahankan ciri khas masjid yang dibangun pada jaman Dinasti Ming.

Dinasti Ming terkenal dengan kebijakannya yang membuat Cina cenderung mengisolasi diri dari dunia luar. Berbagai pengaruh kebudayaan dari luar Cina diputus oleh dinasti yang dipimpin oleh etnis Han tersebut. Etnis Han, sebagai suku terbesar di Cina, seakan-akan menggali jati dirinya kembali setelah dipimpin oleh etnis minoritas Mongol dari Dinasti Yuan. Saat Dinasti Ming berkuasa, seolah-olah semua hal harus berbau etnis Han.

Begitu pun dengan Muslim Hui yang sejatinya keturunan campuran dari bangsa Arab, Persia, dan Han. Kala itu, suku Hui ikut berpakaian, berbahasa, berbudaya, dan mengadopsi nama seperti etnis Han. Mereka juga mendalami ajaran Konfusius tanpa meninggalkan ajaran Islam. Dalam bidang rancang bangun, Muslim Hui mengadopsi konsep dan seni arsitektur bangsa Han. Alhasil, mayoritas masjid yang dibangun di bawah kekuasan dinasti Ming memiliki corak khas Cina seperti kuil dan istana bangsa Han.

Konsep Siheyuan

Semasa Dinasti Ming, bangunan masjid didirikan dengan konsep siheyuan. Tata letak bangunan yang jamak terlihat pada hunian tempat tinggal, istana, dan kuil bangsa Han ini terdiri dari rangkaian bangunan yang mengelilingi sebuah ruang terbuka.

Pada dasarnya, konsep siheyuan pada bangunan masjid serupa dengan penerapannya pada kuil Budha. Perbedaannya hanya terdapat pada arah hadap bangunannya. Kuil Budha memiliki poros bangunan yang mengarah dari selatan ke utara, sedangkan bangunan masjid berporos dari timur ke barat, sesuai dengan arah kiblat.

Masjid berkonsep siheyuan menempatkan sebuah ruang terbuka tepat di tengah kompleks bangunan. Di sekelilingnya terdapat; aula shalat utama yang didirikan di sebelah barat; bangunan pendukung seperti madrasah, tempat wudu, dan ruang pertemuan di sisi utara dan selatan; serta gerbang utama dan menara tempat pengamatan hilal di sebelah timur. Hingga sekarang, konsep ini masih dilestarikan oleh Muslim Hui, salah satunya pada Masjid Dongguan.

Terletak di bagian muka kompleks Masjid Dongguan, sebuah bangunan moderen berlantai tiga yang memiliki sepasang menara dan sebuah kubah berwarna hijau berdiri dengan tinggi dan megah. Orang yang pertama kali mengunjungi masjid ini mungkin akan langsung menyangka bangunan yang didominasi warna putih dan hijau tersebut adalah bangunan utama masjidnya. Padahal, bangunan yang didirikan pada tahun 1998 ini hanyalah gerbang kompleks Masjid Dongguan yang juga berfungsi sebagai tempat shalat tambahan.

Di dalam bangunan berlantai 3 dan berdenah mirip huruf U ini juga terdapat ruang-ruang kelas, kantor administrasi, toko, ruang resepsi, asrama, kantin, dan fasilitas lainnya. Di balik bangunan moderen ini terdapat kompleks Masjid Dongguan yang didominasi bangunan berarsitektur Cina tradisional. Setelah menembus gerbang masjid tadi, jamaah akan dihadapkan pada sebuah gerbang lagi bernama “Lima Gerbang Tengah”. Gerbang ini memiliki sebuah lengkungan besar di bagian tengahnya dan diapit empat buah lengkungan berukuran lebih kecil pada sisi kiri dan kanannya. Kelima lengkungan gerbang ini kemudian diapit oleh dua buah menara bergaya khas Cina bernama Menara Bangke. Sepasang menara kembar berlantai tiga ini digunakan sebagai tempat pengamatan hilal.

Di balik gerbang tersebut terdapat sebuah lapangan seluas 5.000 meter persegi. Tiga buah bangunan berarsitektur Cina tradisional mengelilingi lapangan ini. Di sisi sebelah barat terdapat aula shalat utama, sedangkan dua buah bangunan panjang yang berada di utara dan selatan lapangan ini merupakan bangunan berisi fasilitas pendukung.

Di bangunan sebelah utara lapangan terdapat ruang resepsi, perpustakaan, ruang pertemuan, dan ruangan lainnya, sedangkan pada bangunan yang berada di sebelah selatan lapangan terdapat ruang kelas dan ruang guru. Kedua bangunan kembar berlantai dua ini sebagian besar dindingnya terbuat dari kayu bercat jingga dan atapnya berupa genting khas Cina.

Bagian utama masjid, yaitu aula utama shalat yang mampu menampung 1.500 jamaah berada di sebelah barat lapangan. Bangunan berarsitektur gabungan antara Cina dan Tibet ini bernama “Burung Phoenix Mambentangkan Satu Sayap”. Dinamai demikian karena apabila dilihat dari samping, atap bangunan ini berbentuk seperti burung phoenix yang sedang membentangkan satu sayap dan menekuk sayap yang lainnya. Pada bagian atapnya diberi hiasan berwarna emas seperti yang terdapat pada kuil-kuil Budha di Tibet.

Bangunan utama ini berada di elevasi yang lebih tinggi daripada lapangan maupun gerbang depan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan konsep feng shui pada bangunan tempat ibadah yang mengharuskan ruang ibadah utama memiliki elevasi yang lebih tinggi dari bangunan pendukung lainnya. Konsepnya, semakin ke belakang, semakin sakral lokasinya. Karenanya, di Masjid Dongguan, jamaah harus menaiki sejumlah anak tangga ketika akan memasuki gerbang utama, gerbang tengah, dan ruang shalat utama.

Aula shalat utama Masjid Dongguan terdiri atas tiga bagian, yaitu serambi, ruang shalat tengah, dan ruang mihrab. Pada bagian muka serambi, sela antara kedelapan tiangnya ditutupi oleh kaca-kaca lebar, menahan udara dingin Kota Xining masuk ke dalam. Pilar-pilar berwarna jingga yang terdapat pada serambi masjid memiliki dougong (rangkaian ornamen penyangga atap yang terbuat dari ukiran kayu berbentuk stalaktit) berwarna biru khas Tibet. Di ruangan serambi yang didominasi warna jingga ini terdapat hiasan dinding berupa 9 panel relief ukiran batu yang menggambarkan Sumeru atau sebuah gunung dalam mitologi Cina. Ukiran batu pada dinding, tangga, gerbang, dan monumen seperti ini adalah salah satu identitas khas masjid bangsa Hui.

Ruang shalat tengah merupakan bagian terbesar dari masjid ini. Sama seperti serambi, ruangan ini memiliki denah memanjang. Interiornya pun didominasi pilar-pilar berwarna jingga dan dinding berwarna putih. Sejumlah kaligrafi Cina dan Arab, balok-balok kayu, serta dougong berwarna jingga pun mengiasi dinding atas dan langit-langit ruangan ini. Mimbar masjid berornamen khas Cina pun berada di ruangan ini.

Bagian paling belakang dari masjid ini adalah ruang mihrab. Ruangan yang memuat mihrab atau tempat imam memimpin shalat ini masih bisa menampung puluhan jamaah dalam 7 buah saf. Sebagian besar masjid yang didirikan oleh bangsa Hui memiliki ruang mihrab yang dijadikan sebagai bagian tersuci dari sebuah masjid. Saking sakralnya, walaupun muat untuk puluhan orang, beberapa masjid bangsa Hui bahkan hanya memperuntukkan ruangan mihrab ini sebagai tempat shalat imam saja.

Posted by: schariev | September 25, 2011

Jami’ah Al-Qarawiyyin, Universitas Tertua di Dunia

Pada masa kejayaan Islam, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, namun juga sebagai pusat aktivitas ilmiah. Semenjak kelahiran peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya telah menggunakan masjid sebagai tempat pengkajian Al-Quran. Kegiatan intelektual ini kian berlanjut setelah Rasulullah wafat, bahkan terus menyebar ke seluruh kawasan yang telah dikuasai kaum Muslim.

Hal yang sama terjadi di Maroko, tepatnya di Fes. Di kota ini terdapat Masjid Qarawiyyin yang berdiri pada tahun 859 M. Laiknya kebanyakan masjid pada saat itu, masjid yang sering disebut Jami’ah Al-Qarawiyyin ini menjadi pusat pendidikan komunitas Muslim setempat. Kajian ilmiah di masjid ini bahkan setara dengan tingkat perguruan tinggi. Karenanya, pada tahun 1998, The Guinness Book of Record mencatat Jami’ah Al-Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia yang hingga saat ini masih beroperasi dan terus memberikan gelar kesarjanaan kepada lulusannya.

Walaupun memiliki predikat sebagai universitas tertua, Jami’ah Al-Qarawiyyin bukanlah universitas pertama di dunia. Ensiklopedi Encarta menyematkan gelar perguruan tinggi pertama pada Akademi yang didirikan oleh Plato tahun 387 SM di Yunani. Menyusul setelahnya Lyceum di Athena, Universitas Alexandria di Mesir, Universitas Konstantinopel di Turki, dan Universitas Nalanda di India.

Seiring berjalanannya waktu dan pergantian kekuasaan, universitas-universitas tersebut sudah sejak lama tidak beroperasi lagi. Hal inilah yang menjadikan Jami’ah Al-Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia dengan umur hampir mencapai 12 abad. Universitas ini lebih tua dari Universitas Al-Azhar di Kairo yang mulai beroperasi pada abad ke-10, bahkan jauh lebih tua dari berbagai universitas pelopor di Eropa seperti Universitas Bologna, Universitas Paris, dan Universitas Oxford yang baru beroperasi antara abad ke-11 dan abad ke-12.

Pendiri Jami’ah Al-Qarawiyyin adalah Fatimah Al-Fihri (? – 880 M), seorang muslimah terpelajar sekaligus putri pengusaha kaya. Keluarga Al-Fihri adalah imigran dari Kota Qairawan, Tunisia yang kemudian menetap di Fes bersama ribuan imigran lainnya. Sepeninggalan ayahnya, Fatimah menghabiskan seluruh harta warisannya untuk mendanai pembangunan masjid yang nantinya akan menjadi pusat ibadah dan pendidikan bagi penduduk Fes.

Arsitektur Moor

Struktur bangunan Masjid Qarawiyyin mengikuti bentuk masjid tradisional bangsa Arab yang pada umumnya terbagi atas dua bagian, yaitu mughatta (aula shalat beratap) dan sahn (halaman terbuka). Pada Masjid Qarawiyyin, bagian mughatta merupakan bangunan hypostyle yang terbentuk dari deretan aisle (barisan tiang yang membentuk sebuah lorong), sedangkan sahn Masjid Qarawiyyin berupa halaman terbuka yang dikelilingi oleh riwaq atau portico (lorong berpilar dan beratap).

Masjid Qarawiyyin yang ada pada saat ini merupakan hasil rekonstruksi dan ekspansi yang dilakukan berkali-kali oleh sejumlah penguasa Muslim. Pada awalnya, Fatimah Al-Fihri membangun masjid ini dengan struktur yang hampir sama dengan Masjid Qairawan di Tunisia. Kala itu, aula masjid atau mughatta hanya terdiri dari empat saf aisle sepanjang 30 meter, sedangkan di sebelah barat aula tersebut dibangun sebuah sahn dan menara.

Menyikapi pertambahan populasi penduduk Fes dan pelajar di Masjid Qarawiyyin, pada 956 M, Pemimpin Zenata merombak dan memperluas masjid. Khalifah Umayyah dari Kordoba, Abdurrahman III (889 – 961), menyumbangkan dana dengan jumlah yang sangat besar untuk membiayai proyek tersebut. Perluasan pertama dilakukan dengan menambah 14 deret aisle di sebelah barat dan timur aula masjid, memindahkan sahn ke bagian yang lebih barat, dan memindahkan menara ke riwaq sebelah utara.

Pada tahun 1135, Pemimpin Al-Murabitun, Ali bin Yusuf (? – 1143), menambahkan tiga deret aisle pada sisi barat masjid. Dalam perluasan kali ini, dibuat juga sebuah nave (aisle pusat) yang memotong kesepuluh deret aisle pada aula utama. Nave ini menghubungkan pintu utama aula dengan mihrab masjid. Perancang nave Masjid Qarawiyyin adalah dua orang arsitek asal Andalusia yang juga merancang nave Masjid Tlemcen di Aljazair.

Ali bin Yusuf memerintahkan arsiteknya untuk membuat sebuah mihrab baru di bagian tengah dinding kiblat. Mihrab masjid ini memiliki corak Kordoba dengan lengkungan tapal kuda dan ornamen khas ijmiz-nya. Serupa dengan mihrab Masjid Kordoba di Spanyol, ijmiz atau ornamen penghias mihrab Masjid Qarawiyyin dihiasi motif floral, geometri, dan kaligrafi kufi khas Andalusia. Sejumlah mimbar kayu untuk keperluan khutbah dan kuliah pun didatangkan langsung dari Kordoba.

Satu lagi perangkat masjid yang didatangkan dari Andalusia adalah lampu gantung (chandelier) pemberian Pemimpin Dinasti Almohad pada 1203. Lampu ini dibuat dari hasil peleburan sebuah lonceng perunggu raksasa yang diambil ketika Pasukan Almohad memenangi peperangan di Gibraltar. Hal-hal tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara kawasan Spanyol (Andalusia) dan Maroko (Maghribi) yang kala itu sama-sama berada di bawah pemerintahan Islam.

Pada abad ke-16, Sultan Dinasti Sa’adi, Abdallah bin Al-Shaikh, turut mempercantik Masjid Qarawiyyin. Beliau membangun dua buah paviliun kembar dan sebuah air mancur (mathara) sebagai tempat berwudu di halaman masjid. Semua lantai halamannya dilapisi zilij (rangkaian ubin khas Maghribi). Banyak ahli yang berpendapat bahwa halaman Masjid Qarawiyyin merupakan representasi dari “Court of The Lions” di Istana Alhambra, Spanyol.

Masjid Qarawiyyin memiliki menara yang sangat khas dengan denah berbentuk bujur sangkar. Berfungsi sebagai tempat adzan dan observatorium astronomi, menara bercat putih ini berdiri menjulang di tengah kota Fes. Walaupun bentuknya sederhana, menara ini adalah cikal bakal menara bergaya Maghribi dan Andalusia yang dibangun setelahnya. Di atas menara terdapat ruangan bernama Darul Muwaqqit yang di dalamnya terdapat jam air Al-Lajai. Jam air tersebut dipakai untuk menghitung waktu shalat. Selain itu, masjid ini pun dilengkapi dengan jam matahari dan jam pasir.

Secara keseluruhan, masjid yang dapat menampung sekitar 22.700 jamaah ini dapat dikategorikan ke dalam bangunan berarsitektur moor. Jenis arsitektur ini adalah perpaduan antara seni Islam Afrika Utara dengan gaya Visigoth dari Semenanjung Iberia. Karakteristik gaya moor yang terdapat pada Masjid Qarawiyyin dapat dilihat dari muqarnas khas Maghribi dan Andalusia bernama mocarabe yang terdapat pada gerbang dan dinding masjid, hiasan pelaster bercorak geometri dan floral pada dinding dan langit-langit, aula hypostyle, penggunaan ubin keramik zilij, bentuk mihrab dan mimbar yang khas, penggunaan mashrabiyya atau maqsura (sekat pemisah dari kayu), serta penggunaan lengkungan tapal kuda, cuping, runcing, dan lambrequin.

Pusat Pengetahuan dan Kebudayaan Islam di Belahan Bumi Barat

Jami’ah Al-Qarawiyyin memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan budaya dan sejarah keilmuan dunia Islam. Sebagai masjid tertua di kawasan Maghribi, Jami’ah Al-Qarawiyyin telah sejak lama menjadi pusat ibadah serta pendidikan bagi masyarakat setempat. Tidak hanya itu, Qarawiyyin pun menjadi magnet bagi para pencari ilmu dari berbagai negeri.

Pada awalnya aktivitas ilmiah yang ada di masjid ini hanya membahas tentang ilmu tafsir, fiqih, dan hadis. Namun, seketika muncul beberapa kajian lain seperti linguistik, sastra, filsafat, politik, matematika, astronomi, ekonomi, seni rupa, dan musik. Pada abad ke-10, sebelum universitas tertua di Eropa lahir, ilmu kedokteran dan farmasi sudah diajarkan di Jami’ah Al-Qarawiyyin. Menyusul setelahnya kajian sosiologi, geografi, sejarah, arsitektur, teknik, psikologi, dan berbagai cabang ilmu alam lainnya. Dengan tetap mengikuti aturan pihak universitas, pelajar di Qarawiyyin diberikan kebebasan untuk mengambil studi apapun yang diminatinya. Dengan demikian, lahirlah sarjana-sarjana polymath yang menguasai lebih dari satu bidang ilmu.

Praktek kuliah di Masjid Qarawiyyin menggunakan sistem halaqah. Dalam sistem ini, pengajar dan pelajar duduk melingkar di lantai masjid. Pelajar pria dan wanita kuliah dalam tempat terpisah. Mimbar-mimbar masjid sering digunakan pengajar dan ilmuwan tamu untuk memberikan materi pada saat seminar atau kuliah dengan jumlah peserta yang banyak. Terdapat puluhan halaqah yang menyebar di berbagai sudut Masjid Qarawiyyin, sesuai dengan mata kuliah dan jadwalnya. Universitas Qarawiyyin pun sering mengirimkan sejumlah ilmuwannya untuk mentransfer ilmu pengetahuan ke berbagai universitas di dunia, seperti Universitas Bologna, Universitas Sankore, Universitas Al-Azhar, dan Universitas Granada.

Ketika jumlah pelajar di Universitas Qarawiyyin kian bertambah, pihak universitas akhirnya melakukan seleksi yang sangat ketat dalam menerima mahasiswa baru. Calon mahasiswa harus menguasai Al-Quran, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu umum dari madrasah tingkat dasar. Selain itu, untuk mengatasi kepadatan ruang, beberapa halaqah dipindahkan ke sejumlah madrasah di sekitar masjid, seperti Madrasah Mesbahia, Madrasah Attarin, Madrasah Seffarin, Madrasah Fes El Jedid, dan Madrasah Bou Inania.

Aktivitas ilmiah di universitas tertua ini tidak dapat terlepas dari peran Perpustakaan Qarawiyyin yang berada di sebelah timur masjid. Bahan-bahan kuliah selalu diambil dari perpustakaan ini. Tidak hanya digunakan oleh pihak universitas saja, berbagai madrasah di sekitar Masjid Qarawiyyin pun ikut mempergunakan perpustakaan tersebut. Hingga kini, Perpustakaan Qarawiyyin merupakan salah satu yang terbesar di antara tiga puluhan perpustakaan yang ada di Kota Tua Fes.

Universitas Qarawiyyin telah melahirkan sejumlah ilmuwan Muslim yang telah memberikan kontribusi besar pada dunia pengetahuan, di antaranya adalah; ahli geografi dan pembuat peta, Muhammad Al-Idrisi (1099 – 1166); penjelajah, penulis, serta ahli hadis, Ibnu Rashid Al-Sabti (1259 – 1321); geografer, Al-Wazzan Al Fasi atau Leo Africanus (1494 – 1554); ahli teologi dan filsafat, Ibnu Al-Arabi (1076 – 1184); sastrawan, sejarawan, ahli filsafat, dan dokter, Ibnu Al-Khatib (1313 – 11374); astronom, Al-Bitruji atau Alpetragius (? – 1204); dan ahli sejarah, ekonomi, teologi, matematika, filsafat, hukum, astronomi, militer, kesehatan, dan sosiologi, Ibnu Khaldun (1332 – 1406).

ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization) dalam tulisannya yang bertajuk “Fes: Capital of Islamic Culture” mengemukakan, sejumlah ilmuwan besar Muslim asal Andalusia sempat mengajar di Qarawiyyin, di antaranya; ahli astronomi, fisika, psikologi, musik, botani, dan kedokteran, Ibnu Bajjah atau Avempace (1095 – 1138); ahli ilmu kedokteran dan farmasi, Ibnu Zuhr atau Avenzoar (1091 – 1161); dan ahli filsafat, teologi, psikologi, politik, musik, kedokteran, astronomi, geografi, fisika, matematika, dan teknik, Ibnu Rushid atau Averroes (1126 – 1198).

Jami’ah Al-Qarawiyyin yang menjelma menjadi sebuah universitas yang paling terkemuka di abad pertengahan membuatnya tidak hanya diminati oleh para pelajar Muslim, namun juga oleh pelajar non-Muslim. Ahli filsafat dan agama Yahudi ternama, Rabbi Moshe ben Maimon (1135 – 1204) yang dijuluki oleh para penganut Yahudi sebagai “Nabi Musa kedua” adalah lulusan Universitas Qarawiyyin. Nicolas Cleynaerts (1495 – 1542) dan Jacob Golius (1596 – 1667) tercatat pernah belajar tata bahasa Arab di universitas ini. Golius bahkan telah menerjemahkan buku astronomi karya Al-Farghani dan buku kedokteran karya Ibnu Baklarech lalu mempublikasikannya ke Eropa. Gerbert ‘d Aurillac (946 – 1003) yang kemudian menjadi Paus Sylverster II belajar matematika dan astronomi di Qarawiyyin. Beliaulah mempekenalkan sistem numeral Arab ke Eropa.

Kini, Universitas Qarawiyyin dibagi menjadi sejumlah fakultas yang tersebar di empat kota besar, di antaranya Fes, Agadir, Tetouan, dan Marrakech. Jami’ah Al-Qarawiyyin yang telah beroperasi sejak 12 abad lalu hingga sekarang tidak pernah lelah menjadi pusat ilmu bagi para pelajar dari berbagai negeri.

Kesultanan Turki Usmani merupakan sebuah dinasti besar yang berkuasa pada akhir abad ke-13 sampai awal abad ke-20. Di bawah kepemimpinan Sultan Selim I dan Sultan Suleyman pada abad ke-16, Dinasti Usmani berhasil mencapai puncak kejayaannya. Saat itu, wilayah kedaulatannya membentang dari Aljazair di sebelah barat hingga Azerbaijan di sebelah timur dan Yaman di sebelah selatan sampai Hungaria di sebelah utara. Dengan kata lain, 43 negara dari tiga benua yang ada saat ini pernah dikuasai Dinasti Usmani.

Puncak kejayaan Usmani mengantarkannya pada periode klasik. Pada periode inilah Dinasti Usmani memfasilitasi kesultanannya dengan berbagai sarana pemerintahan dan sarana publik berupa bangunan-bangunan bernilai tinggi. Sampai sekarang, jejak-jejak era keemasan Usmani masih bisa dirasakan melalui karya-karya arsitektur yang tersebar di berbagai penjuru wilayah kedaulatannya, terutama di Turki.

Proyek pembangunan Dinasti Usmani pada era tersebut tidak dapat lepas dari peran seorang jenius bernama Mimar Sinan yang kala itu menjabat sebagai kepala arsitek dan teknik sipil Kesultanan Usmani. Beliau melaksanakan tugasnya pada masa kepemimpinan Sultan Suleyman, Sultan Selim II, dan Sultan Murad III.

Merujuk pada tulisan Sai Mustafa Celebi yang berjudul Tezkiretul Ebniye, semasa hidupnya, Mimar Sinan telah mengepalai pendirian 476 buah bangunan berupa masjid, sekolah, pemandian, istana, jembatan, madrasah, rumah sakit, dan berbagai sarana lainnya. Di antara deretan karyanya tersebut terdapat sebuah bangunan monumental yang diakui oleh Mimar Sinan sendiri sebagai karyanya paling termasyhur, yaitu Masjid Selimiye.

Masjid Selimiye dibangun di Kota Edirne. Menurut catatan Evliya Celebi, seorang penjelajah asal Kesultanan Usmani, dipilihnya Edirne sebagai tempat pembangunan masjid tersebut didasarkan pada mimpi Sultan Selim II. Di dalam mimpinya, Nabi Muhammad saw. memerintah Sang Sultan untuk membangun sebuah masjid besar di Edirne, kota yang menurut mimpi itu dilindungi oleh Nabi Muhammad saw. Alasan lainnya menyatakan bahwa para sultan terdahulu telah mendirikan begitu banyak masjid besar di Turki wilayah timur, sedangkan baru sedikit saja yang berada di wilayah sebelah barat. Padahal, daerah ini memiliki peran yang sangat penting, khususnya Kota Edirne yang menjadi gerbang penghubung antara daratan Turki dengan Benua Eropa. Oleh karena itu, dipilihnya Edirne sebagai tempat pembangunan masjid ini dianggap sebagai pilihan yang sangat bijak.

Sultan Selim II sebagai pemrakarsa masjid memercayakan proses perancangan dan pembangunannya kepada Mimar Sinan. Sang Arsitek sampai membutuhkan waktu delapan tahun untuk menyendiri dan memikirkan rancangan masjid yang akan menjadi karya terbesarnya itu. Pembuatan pondasinya saja membutuhkan waktu dua tahun. Hal ini dilakukan untuk menstabilkan permukaan dan tekstur tanah di lokasi pendirian masjid.

Proyek pembangunan masjid yang dikerjakan oleh 14.400 pekerja ini menghabiskan dana sebesar 4,58 juta keping emas. Pengerjaannya sendiri dimulai tahun 1568 dan selesai pada 27 November 1574, tetapi masjid ini baru dibuka untuk umum pada tanggal 14 Maret 1575, tiga bulan setelah Sultan Selim II mangkat. Sang Sultan tidak sempat meresmikan masjid yang telah diprakarsainya itu.

Tandingan Hagia Sophia

Dahulu terdapat sebuah ungkapan dari kalangan arsitek Kristen yang menyatakan bahwa tidak akan ada seorang pun arsitek Muslim yang dapat membangun kubah sebesar kubah Hagia Sophia di Istanbul. Pandangan negatif inilah yang menjadi motivasi bagi Mimar Sinan untuk membangun Masjid Selimiye. Dengan berdirinya masjid ini, akhirnya ejekan dari para arsitek Kristen itu pun terpatahkan. Mimar Sinan berhasil mendirikan Masjid Selimiye yang memiliki kubah berdiameter 31 meter, setara dengan kubah Hagia Sophia.

Tinggi kubah utama dari lantai dasar Masjid Selimiye adalah 42 meter. Kubah utama ini memiliki penampang berbentuk persegi delapan yang masing-masing sudutnya ditopang oleh delapan pilar besar. Bagian antara dasar kubah dengan kedelapan pilar tersebut diisi oleh muqarnas (ornamen berbentuk stalaktit). Di bawahnya, empat buah half-dome (kubah terpotong) ditempelkan pada keempat sisi penampang kubah utama dan sebuah half-dome lainnya menaungi ruang mihrab. Dengan demikian, apabila dilihat dari atas, rangkaian kubah terpusat Masjid Selimiye terlihat seperti seekor kura-kura. Jumlah half-dome dan kubah kecil yang menaungi ruang shalat utama masjid terbilang sangat sedikit. Hal ini membuat kubah raksasa yang berada di pusat bangunannya terlihat sangat dominan.

Seperti masjid bergaya Usmani lainnya, Masjid Selimiye memiliki halaman berbentuk persegi panjang dengan sebuah tempat wudhu berupa air mancur (sardivan) di tengahnya. Area terbuka ini dikelilingi oleh portico (teras berpilar) yang beratapkan 18 kubah. Portico Masjid Selimiye memiliki 16 pilar. Menurut para ilmuan, pilar-pilar tersebut berasal dari Mesir, Siprus, Syria, dan Turki. Halaman dengan gaya sepeti ini mengadopsi bentuk peristyle pada halaman bergaya Romawi Kuno atau bentuk sahn pada bangunan-bangunan di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pada keempat sudut masjid bediri empat buah menara setinggi 84 meter. Masing-masing menara memiliki tiga buah balkon. Dua menara di antaranya memiliki tiga buah pintu tangga yang menuju langsung pada ketiga balkonnya. Artinya, terdapat tiga jalur tangga yang berbeda pada sebuah menara. Hal tersebut merupakan bukti lain dari kejeniusan seorang Mimar Sinan.

Ruang utama masjid terdiri dari dua lantai, yaitu lantai dasar sebagai tempat shalat utama dan lantai atas berupa balkon yang mengelilingi ruangan utama. Rancangan seperti ini adalah ciri khas masjid berarsitektur Turki Usmani.

Masjid Selimiye diterangi oleh 384 buah jendela. Ratusan jendela itu terbagi ke dalam lima tingkatan. Jendela-jendela pada tingkat terbawah dan tingkat kedua menerangi lantai dasar dan balkon masjid. Barisan jendela pada tingkat ketiga dan keempat merupakan jendela-jendela clerestory (jendela pada dinding atas) yang cukup banyak membiaskan cahaya alami ke dalam masjid. Pada tingkat kelima terdapat deretan jendela kubah yang menerangi interior kubah masjid. Sinan menggunakan kaca jendela berwarna terang untuk memberikan efek pencahayaan yang maksimal pada interiornya.

Interior masjid didominasi oleh Marmer berwarna putih dan coklat muda dari Pulau Marmara serta ubin-ubin keramik yang berasal dari Kota Iznik. Berbagai ornamen kaligrafi karya Hasan Celebi, hiasan arabes, dan muqarnas khas corak Usmani klasik pun turut menghiasi interior dan eksteriornya. Hampir seluruh lengkungan antarpilar yang terdapat pada Masjid Selimiye terdiri dari voussoir (balok-balok pembentuk lengkungan) berwarna merah dan putih yang disusun secara berselingan.

Di dalam masjid, tepat di tengah ruang shalat utama terdapat mahfil muadzin, yaitu bangunan menyerupai panggung yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Mahfil muadzin di Masjid Selimiye memiliki tinggi 2,4 meter dan ditopang oleh 12 tiang kecil dengan lengkungan berukir. Letak mahfil yang berada tepat di bawah kubah utama ini sempat menimbulkan kontroversi karena biasanya mahfil muadzin diletakkan di pinggir ruang shalat utama. Sinan meletakannya tepat di tengah supaya tidak mengganggu kesimetrisan masjid. Di bawah mahfil muadzin, Sang Arsitek menempatkan sebuah air mancur kecil sebagai metafora jiwa dari kubah raksasa yang tepat berada di atasnya.

Mihrab Masjid Selimiye terletak pada sebuah ceruk yang menonjol keluar seperti apse pada bangunan gereja. Mihrab ini terbuat dari pahatan batu marmer monolitik yang dihiasi ornamen geometri dan kaligrafi. Sebuah mimbar bertangga yang sangat tinggi terletak di sebelah kanan ceruk mihrab. Mahfil sultan sebagai tempat shalat sultan dan para petinggi negara berada di atas balkon yang terletak di sebelah kiri ceruk mihrab. Semua lantai masjid ditutupi oleh karpet berwarna merah. Pada malam hari, pencahayaan interior masjid dibantu oleh sekian banyak lampu gantung.

Masjid Selimiye yang bediri di atas lahan seluas 2.475 meter persegi ini dapat menampung sekitar enam ribu jamaah. Hingga kini, masjid yang berusia empat abad tersebut menjadi ikon Kota Edirne sekaligus menjadi salah satu warisan terbesar peradaban Islam di bidang arsitektur.

Kulliye: Pusat Kota Khas Turki Usmani

Dalam tata kota khas Kesultanan Turki Usmani dikenal istilah ‘kulliye’ yang berarti kompleks sarana publik yang mengelilingi sebuah masjid besar. Sama seperti kebanyakan masjid lainnya di Turki, Masjid Selimiye pun berada di dalam sebuah lingkungan kulliye. Di belakang masjid ini terdapat dua buah bangunan kembar, yaitu Darul Hadits dan Madrasah sebagai tempat pembelajaran Islam dan pengetahuan umum. Kedua sekolah ini merupakan bangunan peristyle berbentuk persegi dengan taman terbuka di tengahnya. Semua ruang kelasnya dihubungkan oleh portico yang mengelilingi taman tersebut.

Di sebelah kanan masjid terdapat kompleks pertokoan (arasta) sepanjang 255 meter yang terdiri dari 124 toko. Deretan toko tesebut berdiri saling berhadapan dan dihubungkan oleh sebuah lorong besar. Pertokoan ini dibangun atas perintah Sultan Murad III untuk menambah pendapatan kas masjid. Terpisah oleh jalan raya, di sekitar masjid terdapat beberapa fasilitas umum lainnya seperti rumah sakit, perpustakaan, pemandian, dapur umum, penginapan, dan permakaman.

Tidak jauh dari kompleks Masjid Selimiye terdapat beberapa bangunan bersejarah lainnya yang telah berdiri beberapa tahun sebelum masjid ini dibangun, di antaranya adalah Masjid Eski Cami yang dibangun atas titah Sultan Mehmet I, Masjid Uc Serefeli yang menjadi salah satu pelopor masjid dengan menara berbalkon tiga, serta Kompleks Museum Kesehatan Bayezid II yang pada era Usmani dahulu merupakan sebuah rumah sakit dan sekolah kesehatan.

Masjid Selimiye dan bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Edirne menjadikan kota ini bagaikan sebuah museum terbuka yang mampu membuktikan jejak-jejak kejayaan Kesultanan Turki Usmani serta tingginya peradaban Islam pada masa lampau.

Masjid Ahmad Kadyrov terletak di Grozny, Ibu Kota Republik Chechnya. Berada di Pegunungan Kaukasus belahan utara, Republik Chechnya masih merupakan bagian dari Federasi Rusia. Masjid Ahmad Kadyrov adalah salah satu masjid terbesar di Rusia dan juga Eropa. Dalam sekali waktu, masjid yang didirikan di atas lahan seluas 14 hektar ini dapat mengakomodasi lebih dari 10.000 jamaah. Nama masjidnya sendiri diambil dari nama Presiden Chechnya terdahulu, yaitu Ahmad Kadyrov yang tewas terbunuh pada tahun 2004. Beliau merupakan ayah dari Ramzan Kadyrov, Presiden Chechnya saat ini.

Masjid Ahmad Kadyrov dikelilingi oleh beberapa fasilitas penunjang seperti perpustakaan, taman, gedung konferensi, pusat administrasi, gedung mufti, madrasah, asrama, dan universitas Islam. Pembangunan kompleks masjid yang menghabiskan dana sebesar 20 juta US Dollar ini dibiayai oleh Pemerintah Rusia. Setelah tiga tahun proses pengerjaannya, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan Ramzan Kadyrov selaku Presiden Chechnya meresmikan Masjid Ahmad Kadyrov pada tanggal 17 Oktober 2008, bertepatan dengan hari pertama penyelenggaraan sebuah konferensi internasional bertajuk ‘Islam: Agama Perdamaian’. Konferensi ini bertujuan untuk membahas dan mempromosikan toleransi, kedamaian, kemajuan, serta kebenaran dalam ajaran Islam untuk melawan ekstrimisme dan fanatisme. Perwakilan dari 28 negara, 200 lebih tokoh Islam, dan ribuan umat Muslim menghadiri acara peresmian masjid dan konferensi internasional tersebut.

Gaya Turki Usmani

Mengikuti tradisi bangunan masjid bergaya Turki Usmani, Masjid Ahmad Kadyrov memiliki ruang shalat yang terdiri dari dua lantai, yaitu lantai pertama sebagai ruang shalat utama dan balkon yang mengelilinginya di lantai kedua sebagai ruang shalat tambahan atau tempat shalat bagi jamaah wanita. Masjid ini juga memiliki sebuah basement yang dapat diakses dari selasar masjid.

Secara garis besar, Masjid Ahmad Kadyrov memiliki bentuk yang sama dengan Masjid Sultan Ahmad di Istanbul, Turki. Kedua bangunan masjid ini memiliki gaya arsitektur Turki Usmani klasik. Kemiripan yang paling mencolok pada kedua masjid dapat dilihat di antaranya dari susunan kubah terpusat yang menjadi atapnya. Susunan kubah ini terdiri dari sebuah kubah utama yang menaungi pusat bangunan, empat buah half-dome (kubah terpotong) besar yang menempel pada keempat sisi penampang kubah utama, delapan buah half-dome berukuran lebih kecil yang menempel pada keempat penampang half-dome besar, dan empat buah kubah kecil yang diletakkan di keempat pojok bangunan masjid. Dengan demikian, serangkaian kubah terpusat dan empat buah kubah kecil tersebut dengan sempurna menaungi ruang shalat utama Masjid Ahmad Kadyrov yang memiliki denah berbentuk persegi. Selain itu, 19 kubah kecil lainnya berderet di sisi kanan, kiri, dan muka masjid. Kubah-kubah berukuran kecil ini secara langsung menaungi balkon masjid di lantai kedua dan bagian aisle (lorong pengapit aula utama) yang berada di bawah balkon. Bentuk susunan  kubah yang memiliki denah seperti semanggi berdaun empat ini merupakan pengembangan dari susunan kubah terpusat yang digunakan oleh bangsa Bizantium dalam membangun Hagia Sophia di Konstantinopel (Istanbul).

Pada ruang shalat utama terdapat sebuah mihrab dengan gaya khas Usmani. Kekhasan ini terletak pada ceruk mihrabnya yang dihiasi maqarnas (ornamen berbentuk stalaktit) dan bagian atasnya yang dimahkotai oleh ukiran arabes. Di sebelah kanan dan kiri mihrab diletakkan dua buah lampu hias sebagai pengganti dua buah lilin besar yang biasanya mengapit mihrab masjid bergaya Usmani. Di sebelah kanan mihrab terdapat sebuah mimbar bertangga yang sangat tinggi. Dengan ketinggian terebut, khatib yang berkhutbah di atas mimbar ini bisa terlihat oleh para jamaah yang berada di lantai kedua. Selain itu, di sebelah kiri mihrab diletakkan juga sebuah mimbar atau podium yang jauh lebih pendek. Di sisi kanan ruang shalat utama terdapat sebuah mahfil sebagai tempat mengumandangkan adzan. Mihrab, mahfil, dan kedua mimbar tersebut terbuat dari marmer putih yang dihiasi ornamen kaligrafi berwarna kemasan, muqarnas, serta ukiran arabes berupa corak tumbuhan dan garis-garis geometri. Seluruh lantai pada ruang shalat ditutupi karpet berwarna hijau dengan corak sederhana berupa garis-garis shaf.

Masjid Ahmad Kadyrov memiliki jendela-jendela yang tersusun dalam beberapa tingkatan. Lantai dasar ruang shalat utama memiliki jendela-jendela berukuran besar. Jendela-jendela inilah yang menjadi sumber utama pencahayaan interior masjid. Balkon pada lantai kedua dapat dikatakan kurang mendapat pencahayaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya jumlah jendela yang terdapat di lantai kedua. Pada dinding bagian atas (clerestory) dan penampang kubah terdapat deretan jendela dengan kaca patri berwarna-warni.

Sebagai sumber cahaya pendukung interior masjid, sebuah lampu kristal berukuran besar digantungkan pada pusat kubah utama. Beberapa lampu gantung kristal lainnya yang berukuran lebih kecil tersebar di seluruh bagian interior masjid, menggantung pada pusat-pusat kubah yang lebih kecil. Uniknya, pada bagian tengah lampu gantung yang paling besar terdapat sebuah replika Ka’bah berwarna hitam, sedangkan pada lampu gantung yang berukuran lebih kecil terdapat replika kubah hijau Masjid Nabawi dan replika kubah emas Masjid Qubbat As-Sakhra di Yerusalem. Jumlah keseluruhan lampu kristal yang menerangi Masjid Ahmad Kadyrov adalah 36 buah.

Pemandangan interior masjid kian diperindah oleh hiasan-hiasan kaligrafi berwarna emas yang tersebar pada dinding-dinding masjid. Pemandangan yang lebih spektakuler terdapat pada langit-langitnya. Seluruh bagian interior kubah-kubah masjid dihiasi oleh hiasan berupa rangkaian garis-garis geometri dan lukisan bercorak tumbuhan. Kaligrafi berwarna emas bertuliskan ayat-ayat Alquran, lafadz Allah, nama Muhammad dan nama beberapa sahabatnya turut menghiasi pusat-pusat kubah dan puncak pilar masjid. Semua karya seni Islam bercita rasa tinggi ini diterangi oleh cahaya lembut dari jendela-jendela berwarna dan lampu-lampu kristal yang memancarkan sinar keemasan.

Seluruh lengkungan antarpilar yang terdapat pada bagian interior dan eksterior masjid Ahmad Kadyrov terdiri dari voussoir (balok-balok pembentuk lengkungan) berwarna merah dan putih yang disusun secara berselingan. Sistem pengaturan warna seperti ini disebut dengan istilah ablaq yang sering digunakan pada bangunan berarsitektur Moor, Mamluk, dan Usmani. Ablaq merupakan salah satu komponen khas dalam arsitektur Islam selain muqarnas dan arabes.

Masjid Ahmad Kadyrov memiliki empat buah menara setinggi 60 meter yang berada di keempat sudut bangunan masjid. Sama persis dengan bentuk menara Masjid Sultan Ahmad di Istanbul, keempat menara ini masing-masing memiliki tiga buah balkon dan atap menara berbentuk kerucut. Keempat menara ini dapat terlihat dari berbagai pelosok kota Grozny.

Pada sisi kanan, kiri, dan muka masjid terdapat portico (teras berpilar) yang beratapkan kubah-kubah kecil. Masjid ini memiliki halaman depan berupa ruang terbuka berbentuk persegi yang juga dikelilingi oleh portico pada keempat sisinya. Format seperti ini merupakan ciri khas halaman masjid bergaya Turki Usmani. Hanya saja dalam hal ini, halaman Masjid Ahmad Kadyrov memiliki beberapa perbedaan dengan masjid-masjid bergaya Usmani lainnya. Portico pada halaman Masjid Ahmad Kadyrov tidak memiliki dinding pada sisi terluarnya, sehingga memberikan kesan yang lebih terbuka dan transparan. Tempat wudu (sardivan) tidak diletakan di tengah-tengah halaman seperti biasanya, melainkan diletakkan pada barisan portico terdepan, yaitu tempat yang biasanya digunakan sebagai gerbang utama masjid bergaya Usmani.

Masjid Ahmad Kadyrov dikelilingi oleh halaman luas berupa taman-taman yang tertata rapi dan tiga buah air mancur besar. Eksterior masjid akan terlihat lebih indah ketika sinar matahari senja dipantulkan oleh dinding-dinding masjid yang terbuat dari marmer travertin dan marmer putih dari Pulau Marmara. Pada malam hari, seluruh taman dan jalan menuju masjid diterangi oleh lampu-lampu. Beberapa air mancur bahkan disoroti lampu yang memberikan cahaya berwarna-warni pada setiap pancaran airnya. Pemandangan yang sangat indah ini berada di tempat yang dahulunya porak-poranda akibat peperangan. Maka, tidaklah berlebihan jika warga Chechnya memanggil Masjid Ahmad Kadyrov dengan sebutan “Jantung Chechnya”.

Kembali Berbenah Diri

Republik Chechnya adalah sebuah kawasan di selatan Rusia yang berpenduduk sekitar 1,27 juta jiwa. Lebih dari 90 persen di antaranya beragama Islam. Sebagian besar Muslim Chechnya memeluk ajaran Islam Sunni. Selain itu, ada juga pengikut Tarikat Naqshbandiyah dan Qadiriyah.

Jika dibandingkan dengan wilayah berpenduduk mayoritas Islam lainnya di Rusia, kedatangan Islam ke tanah Chechnya dapat dikatakan mengalami keterlambatan. Islam pertama kali datang ke Rusia pada abad ke-10, khususnya di kawasan Dagestan, Volga Bulgaria (Bashkortostan), dan Tatarstan. Bangsa Dagestan, Bashkir, dan Tatar merupakan para pemeluk Islam pertama di wilayah Rusia. Bangsa Chechnya sendiri baru memeluk Islam antara abad ke-16 sampai abad ke-19 setelah meninggalkan agama terdahulunya, Animisme. Sejak saat itu, Islam menjadi identitas bangsa Chechnya.

Kawasan Chechnya pernah tercabik akibat peperangan antara pejuang Chechnya dengan pasukan Rusia yang terjadi pada tahun 1994-1996 dan tahun 1999-2000. Peperangan tersebut dipusatkan di Kota Grozny. Karenanya, kota ini pun hancur berantakan. Sesuai dengan namanya, Grozny yang berarti kacau-balau.

Setelah peperangan usai, Republik Chechnya mulai berbenah diri. Renovasi besar-besaran pun dilakukan di Kota Grozny, salah satunya adalah dengan membangun sebuah masjid besar yang sejak lama didambakan oleh masyarakat Chechnya. Maklum, pada masa rezim Soviet, pembangunan masjid adalah hal yang terlarang. Bahkan pada saat itu banyak masjid yang ditutup, dialihfungsikan menjadi gudang, dirusak, bahkan dihancurkan.

Hingga sekarang, Pemerintah Chechnya terus membangun sarana dan prasarana di Ibu Kotanya ini. Puluhan ribu apartemen dan tempat tinggal yang hancur akibat perang dibangun kembali. Demikian juga dengan sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi, dan sarana-sarana lainnya. Bahkan kini, di sekitar Masjid Ahmad Kadyrov mulai terlihat konstruksi-konstruksi gedung pencakar langit. Kehadiran Masjid Ahmad Kadyrov di pusat kota Grozny membawa angin segar dan semangat baru bagi bangsa Chechnya untuk kembali membangun tanah airnya.


Posted by: schariev | December 11, 2010

Masjid Penzberg

Bangunan Bergaya Kontemporer Islami di Kaki Pegunungan Alpen

Ihr Menschen! Wir haben euch aus Mann und Frau erschaffen und haben euch zu Völkern und Stämmen werden lassen, damit ihr euch kennenlernt…” (Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal). Kalimat ini adalah terjemahan bahasa Jerman dari salah satu ayat dalam Al Quran, yaitu potongan surat Al Hujuraat ayat13. Ayat tersebut tertulis pada salah satu sisi gerbang sebuah masjid yang beralamat di Bichlerstrasse 15, Penzberg, Bayern, Jerman. Makna dari ayat ini adalah penjelasan mengenai keberagaman manusia dan anjuran untuk saling berinteraksi. Ayat inilah yang dijadikan sebagai dasar pembangunan sekaligus jiwa masjid tersebut.

Penzberg adalah sebuah kota dengan jumlah penduduk sekitar 16.000 jiwa yang berada di bagian selatan Jerman, yaitu di kaki Pegunungan Alpen. Muslim Penzberg merupakan minoritas di kota ini, hanya berjumlah sekitar 1.000 jiwa. Penzberg adalah sebuah kota multikultur, tempat tinggal sekitar 70 suku bangsa dari berbagai belahan dunia. Begitu pun dengan komunitas Muslimnya, berasal dari berbagai negara Islam seperti Albania, Turki, dan Bosnia.

Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Islamische Gemeinde Penzberg e.V atau Jamaah Islam Penzberg, sebuah organisasi Islam multietnis, netral, dan terbuka yang didirikan sejak tahun 1994. Sebelum memiliki masjid seperti sekarang, Muslim Penzberg dulunya biasa melakukan shalat di sebuah bangunan tua bekas kandang sapi. Baru pada September 2005 setelah masjid yang diberi nama Forum Islam ini diresmikan, Muslim Penzberg bisa beribadah dengan sangat nyaman di masjid barunya. Biaya pembangunan masjid yang mencapai 3 juta Euro ditanggung oleh Sultan bin Muhammad Al Qassimi, seorang Emir dari Uni Emirat Arab.

Perancang Forum Islam atau Masjid Penzberg adalah Alen Jasarevic, seorang arsitek Muslim keturunan Bosnia. Berbeda dengan kebanyakan bangunan masjid lainnya di Jerman yang menggunakan gaya arsitektur Turki Usmani, Jasarevic merancang masjid ini dengan gaya kontemporer. Ketika masjid-masjid lainnya dilengkapi kubah dan menara, Masjid Penzberg lebih memilih untuk tidak memiliki kedua ornamen tradisional masjid tersebut. Sebuah masjid memang tidak diwajibkan untuk memiliki menara dan kubah, yang penting adalah sebuah tempat yang layak dan nyaman untuk melaksanakan ibadah dan menjalin silaturahmi.

Jasarevic berpendapat bahwa masjid dengan gaya kontemporer dinilai dapat lebih diterima di Eropa daripada gaya arsitektur lainnya. Selain inovatif, hal ini sejalan dengan harapan Muslim Penzberg, yaitu menginginkan sebuah masjid yang dapat diterima masyarakat sekitarnya tanpa menimbulkan protes dan juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk berinteraksi antara sesama Muslim ataupun dengan warga lainnya. Setelah masjid ini diresmikan, harapan Muslim Penzberg menjadi kenyataan. Tercatat semenjak hari peresmiannya, masjid ini telah dikunjungi puluhan ribu pengunjung, baik Muslim ataupun nonmuslim. Komunitas Muslim Penzberg memiliki hubungan yang sangat baik dengan warga lainnya yang beragama Kristen dan Yahudi.

Menurut Jasarevic, ilmu arsitektur selama berabad-abad telah memberikan kontribusinya pada kelancaran pendakwahan dan pencitraan Islam di berbagai negeri. Pembangunan sebuah masjid selalu mengikuti kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitarnya. Contohnya adalah Masjid Raya Xian di Cina yang dibangun dengan gaya arsitektur Dinasti Ming. Penyesuaian arsitektur bangunan masjid dilakukan sebagai salah satu langkah untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan sosialnya sehingga Islam bisa diterima dengan baik oleh semua lapisan masyarakat. Langkah inilah yang dilakukan oleh Muslim Penzberg untuk memulai komunikasi yang baik dengan warga lainnya.

 

Arsitektur kontemporer Islami

Masjid Penzberg adalah sebuah bangunan bergaya kontemporer dengan sentuhan kekayaan seni Islami.  Bangunan yang dinding eksteriornya didominasi oleh corak batu bata berwarna pasir pantai ini memiliki denah berbentuk huruf L. Masjid Penzberg memiliki sebuah menara yang unik berupa susunan tiga buah kubus setinggi 13 meter. Menara ini tidak terbuat dari batu bata atau semen seperti pada umunya, melainkan rangkaian kaligrafi yang membentuk tiga buah kubus baja antikarat. Kaligrafi bahasa Arab yang membentuk menara ini adalah teks ajakan untuk mendirikan shalat, yaitu adzan. Dengan begitu, seruan shalat tidak hanya disampaikan 5 kali sehari, tetapi 24 jam sehari tanpa mengganggu para tetangga. Berdiri dengan sederhana dan elegan di dekat pusat kota, gaya arsitektur Masjid Penzberg berbaur dengan gaya arsitektur bangunan-bangunan lain di sekitarnya.

Tidak seperti kebanyakan masjid lainnya yang memiliki pintu utama yang terbuat dari bahan kayu berukir, Masjid Penzberg memiliki pintu utama yang terbuat dari bahan metal polos. Di atas pintu terdapat sebuah jendela besar yang memantulkan warna langit dan awan Kota Penzberg. Pintu masjid diapit oleh gerbang berupa dua lembar balok beton yang tingginya hampir setara dengan tinggi bangunan. Pada balok beton sebelah kiri tertulis terjemahan bahasa Jerman dari surat Al Fatihah dan surat Al Hujurat ayat 13, sedangkan pada lembar balok beton sebelah kanan tertulis ayat-ayat Al Quran tersebut dalam bentuk kaligrafi bahasa Arab. Dengan demikian, kedua lembar balok beton ini terlihat seperti sebuah Al Quran terjemahan bahasa Jerman berukuran besar yang sedang terbuka, menyambut siapa pun yang hendak datang ke masjid ini untuk beribadah atau sekedar berkunjung dan mempelajari ajaran Islam.

Apabila biasanya pintu utama masjid langsung mengantarkan jamaah dan pengunjung ke ruang shalat utama, pintu utama Masjid Penzberg mengantarkan kita pada sebuah koridor, mirip dengan kebanyakan rumah di Jerman yang menggunakan koridor (Flur) untuk menghubungkan pintu-pintu ruangannya. Di sebelah kiri koridor terdapat pintu perpustakaan dan tangga menuju ruang shalat wanita di lantai kedua, sedangkan di sebelah kanan terdapat pintu ruang shalat utama untuk laki-laki. Ujung koridor ini terhubung dengan lapangan parkir dan taman.

Di dalam bangunan yang memiliki 3 lantai dan sebuah basement ini selain terdapat ruang shalat, juga terdapat sebuah perpustakaan multimedia dengan koleksi berjumlah lebih dari 6000 buah. Bangunan masjid ini juga memiliki aula, ruang administrasi, dan beberapa ruang kelas. Di bagian luar masjid terdapat taman, teras, dan tempat parkir. Keseluruhan bangunan masjid berdiri di atas lahan seluas 1.600 meter persegi.

Walaupun memilih gaya kontemporer untuk seluruh struktur bangunannya, Jasarevic tidak serta-merta meninggalkan unsur-unsur seni Islami sebagai penghias sekaligus jiwa dari masjid ini. Hiasan arabes berupa permainan garis-garis geometri sederhana dan kaligrafi bahasa Arab tetap menghiasi seluruh interior ruang shalat. Bentuk-bentuknya terinspirasi dari beberapa corak hiasan yang tedapat di Masjid Kordoba, Spanyol. Langit-langit, panel, dan beberapa buah tiang artistik di ruang shalat utama dihiasi oleh kaligafi 99 nama Allah (Asmaul Husna) dan rangkaian garis geometri yang membentuk bintang-bintang. Keseluruhan mihrab masjid dibentuk oleh rangkaian kaligrafi yang terbuat dari bahan metal berwarna emas. Untuk tempat berkhutbah, sebuah mimbar tinggi berukir corak geometri berdiri di sebelah depan kanan ruangan shalat.

Sebagai tambahan sumber energi, di atap masjid yang berbentuk datar ini dipasang 22 panel tenaga matahari seharga 40.000 Euro. Panel-panel ini merupakan sumber energi untuk sistem penghangat ruangan dan pemanas air.

Pencahayaan interior ruang shalat mengandalkan beberapa buah lampu kecil khas gaya minimalis yang ditempatkan di langit-langit dan lantai dekat jendela. Selain itu, pada siang hari pencahayaan interior didukung oleh jendela-jendela besar di sebelah kanan dan kiri ruang shalat. Bagian terdepan ruang shalat ini bukanlah sebuah dinding beton, melainkan rangkaian 24 jendela daur ulang berwarna biru yang menghadap ke arah kiblat. Pada waktu siang, cahaya matahari akan dibiaskan oleh rangkaian jendela ini dan menghasilkan cahaya berwarna kebiruan.

Pada malam hari pemandangan masjid akan menjadi lebih indah, khususnya pada bagian eksterior. Seluruh dinding luar masjid disinari oleh lampu sorot, memperjelas efek visual dari corak batu bata pada permukaan dindingnya. Jendela-jendela masjid yang berukuran besar memancarkan cahaya yang berasal dari dalam ruangan, menegaskan corak geometri berbentuk bintang dan motif bintik-bintik biru pada setiap jendelanya. Tidak ketinggalan, menara masjid ikut menghiasi pemandangan malam kota yang berada di kaki Pegunungan Alpen ini. Cahaya dari dalam menara memancar dan menembus celah-celah ukiran kaligrafinya. Karya besar Jasarevic ini sekarang menjadi salah satu ikon Kota Penzberg.

 

Transparansi untuk integrasi

Hampir 60 persen bangunan Masjid Penzberg ditutupi oleh kaca jendela. Dari luar, kita bisa dengan mudah melihat kegiatan yang sedang berlangsung di ruang shalat, ruang kelas, atau perpustakaan. Gaya kontemporer yang lebih terbuka ini merupakan sebuah cara untuk mempresentasikan identitas sekaligus keinginan Muslim Penzberg untuk bisa berintegrasi dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya. Kondisi bangunan seperti ini akan membuat semua lapisan masyarakat tidak enggan untuk mengunjungi Masjid Penzberg. Fungsi masjid sebagai wadah komunikasi memang dinilai sangat penting di tengah Kota Penzberg yang memiliki penduduk multietnis dan terbuka ini.

Selain sebagai tempat beribadah bagi umat Muslim, Masjid Penzberg juga menggelar berbagai kegiatan pelayanan rutin yang ditujukan untuk semua masyarakat Penzberg, di antaranya adalah kelas pembelajaran Islam, konsultasi agama dan sosial, kursus bahasa, seminar, diskusi antaragama dan antarkultur, konferensi, open house, kelompok bermain anak, dan bimbingan belajar. Semua kegiatan ini membuat Masjid Penzberg tidak pernah sepi.

 

Salah satu bangunan terbaik di Bayern

Pada waktu perencanaan dan proses pembangunannya, masjid ini sempat menuai keresahan dari masyarakat sekitar. Mereka khawatir dengan kehadiran sebuah bangunan asing yang akan mereka lihat setiap hari. Maklum saja, kebanyakan orang Jerman berpikir kalau sebuah masjid pastilah berdiri dengan kubah dan menara khas Turki yang asing bagi mereka. Masjid masih dianggap sebagai sebuah tempat beribadah orang-orang yang tidak ingin berbaur dengan masyarakat lain. Pemikiran ini akhirnya terpatahkan sejalan dengan hadirnya sebuah masjid dengan gaya yang lebih bersahabat dan membaur serta aktivitas-aktivitas masjid yang selalu berusaha merangkul warga sekitarnya.

Kekhawatiran masyarakat Penzberg pun akhirnya berubah menjadi sebuah kebanggaan ketika masjid ini memenangkan penghargaan Wessobrunner Architekturpreis, sebuah penghargaan yang diberikan 5 tahun sekali untuk karya arsitektur terbaik di seluruh Negara Bagian Bayern. Setelah melewati beberapa tahap seleksi, Masjid Penzberg berhasil mengalahkan puluhan bangunan yang menjadi pesaingnya.

Walikota Penzberg Hans Mummert yang hadir pada acara penyerahan penghargaan menyatakan bahwa penghargaan ini adalah sebuah kehormatan bagi Kota Penzberg. Benjamin Idriz, Imam Masjid Penzberg, kemudian mengungkapkan bahwa inilah pertama kalinya sebuah masjid di Jerman memenangkan penghargaan arsitektur. Masjid Penzberg diakui karena arsitekturnya yang luar biasa, sama halnya dengan aktivitas sosial, budaya, dan pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya. Alen Jasarevic pun berharap Masjid Penzberg bisa menjadi inspirasi bagi Muslim lainnya di Jerman.

Oleh Syarif Abdussalam

Masjid ini menjadi salah satu tempat yang selamat dari gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter (SR) di Kota Kobe.

Orang Jepang memanggil masjid yang terletak di Nakayamate Dori, Chuo-ku, Kobe, ini dengan sebutan Kobe-kaikyo-jiin atau Kobe-mosuku. Sedangkan nama aslinya adalah Masjid Muslim Kobe. Masjid ini merupakan masjid tertua di Jepang. Sampai sekarang, Masjid kebanggaan Muslim Jepang ini tetap kokoh berdiri dan dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Islam sekaligus tempat kegiatan keagamaan Muslim Kobe.

Berada di salah satu kawasan paling terkenal di Kobe, dengan dua buah menara kembar dan kubah besarnya, masjid ini berdiri kokoh dan anggun di antara bangunan-bangunan berarsitektur Eropa lainnya. Sejarah pendirian masjid ini tidak dapat terlepas dari kedatangan para pedagang Muslim yang berasal dari wilayah India dan Timur Tengah ke Kota Kobe seabad lalu.

Jumlah para pedagang Muslim yang tinggal di Kobe pada awal 1900-an masih terbilang sedikit. Mereka biasa melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan di rumah-rumah atau aula hotel. Pada 1920-an jumlah komunitas Muslim di Kobe kian meningkat.

Selain jumlah kedatangan para pedagang beserta keluarganya dari India dan Timur Tengah yang terus meningkat, hal ini disebabkan juga oleh kedatangan Muslim Tartar yang berasal dari Rusia dan Asia Tengah. Mereka datang ke Kota Kobe untuk menghindari Revolusi Bolshevik pada saat Perang Dunia I. Tekanan dari rezim komunis memaksa Muslim Tartar keluar dari negara asalnya.

Banyaknya jumlah komunitas Muslim Kobe pada saat itu, membuat mereka harus segera memutuskan untuk mendirikan masjid sebagai tempat ibadah. Pada 1928 dibentuklah Komite Muslim Kobe. Para pedagang dari India dan Timur Tengah yang sering bepergian keluar-masuk Jepang terus meminta donasi dari para pedagang lainnya untuk biaya pembangunan Masjid. Enam tahun kemudian akhirnya komite ini mengumpulkan dana sebesar 118.774,73 yen.

Sumbangan terbesar diberikan oleh perusahaan-perusahaan dari India, Konsulat Mesir, Konsulat Afghanistan, serta sumbangan dari Asosiasi Muslim Tartar-Turki. Pada Jumat, 30 November 1934, pembangunan masjid dimulai. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Mr Muhammad Bochia selaku penanggung jawab pembangunan masjid.

Turki tradisional

Beberapa sumber menyebutkan bahwa perancang Masjid Muslim Kobe adalah seorang arsitek asal Ceko bernama Jan Josef Svagr yang telah merancang banyak bangunan bergaya Barat di Jepang. Svagr merancang masjid ini dengan gaya Turki tradisional.

Struktur bangunan yang tinggi dan kubah utamanya yang besar merupakan gaya khas Turki tradisional, tetapi bentuk jendelanya yang meruncing akan mengingatkan kita pada bentuk jendela yang terdapat di masjid-masjid bergaya India atau Persia. Dua buah menara kembar yang mengapit pintu utama masjid dan kubah utama tunggal akan mengingatkan kita pada Masjid Sunitskaia di Vladikavkaz, Rusia.

Pengerjaan bangunan masjid dipercayakan kepada perusahaan konstruksi asal Jepang Takenaka dan diawasi oleh Mr Vallynoor Mohamed. Biaya yang terpakai untuk pembangunan masjid, sekolah, dan bangunan lainnya mencapai 87.302,25 yen. Sisa dari biaya pembangunan digunakan untuk investasi. Mereka membeli properti berupa beberapa bangunan di Yamato-dori, Ijinkan, dan Kitano-cho.

Setelah permohonan izin penggunaan masjid disetujui oleh Kekaisaran Jepang, pada Jumat, 2 Agustus 1935 Masjid Muslim Kobe diresmikan oleh Mr Ferozuddin dan dihadiri oleh umat Muslim dari berbagai negara seperti India, Rusia, Asia Tengah, Cina, Jepang, Indonesia, Turki, Arab Saudi, Afghanistan, dan Mesir.

Setelah memberikan pidato pembukaan, Mr Ferozuddin kemudian membuka pintu masjid dengan menggunakan kunci perak dan naik ke puncak menara untuk mengumandangkan azan. Azan itu merupakan seruan pelaksanaan shalat Jumat yang akan dilaksanakan pertama kalinya di masjid baru itu. Shalat Jumat kemudian dipimpin oleh Mohamed Shamguni, Imam pertama Masjid Muslim Kobe.

Selain sebagai tempat pelaksanaan shalat dan pembelajaran Islam, banyak kegiatan keagamaan lainnya dilakukan di masjid ini. Pada bulan Ramadlan contohnya, acara berbuka puasa bersama (ifthar jama’i) dan beberapa perayaan selalu dilakukan di basement masjid.

Berbagai jenis makanan dan minuman dari berbagai negeri selalu dihidangkan sebagai menu berbuka puasa. Seluruh bagian masjid selalu penuh oleh jamaah ketika shalat tarawih dilaksanakan. Begitu juga dengan pelaksanaan shalat Id. Masjid Muslim Kobe selalu menjadi pusat kegiatan keagamaan umat Islam yang tinggal Kobe pada saat itu.

Diambil alih angkatan laut

Kedamaian beribadah yang dinikmati oleh umat Muslim Kobe tidak berlangsung lama. Pada 1939, Perang Dunia II dimulai. Para pedagang India yang tinggal di Kobe, dievakuasi kembali ke negaranya. Begitu juga dengan Muslim Tartar dan yang lainnya. Mereka menyelamatkan diri ke luar dari Jepang. Akibat evakuasi besar-besaran ini, hanya sedikit umat Islam yang bertahan di Kobe. Dengan kondisi yang serba tak menentu, dan sedikitnya umat Islam yang beribadah di masjid, akibatnya, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengambil alih masjid itu.

Pada 1943 mereka menjadikannya sebagai tempat penyimpanan senjata dan persembunyian tentara. Akibatnya, umat Muslim yang tersisa di Kobe tidak bisa beribadah di masjid tersebut.

Tragedi Pearl Harbour membuat Jepang semakin terpojok. Amerika kemudian mengebom berbagai kota di Jepang. Setelah Amerika mengebom Tokyo dan Yokohama, gempuran itu kian mendekati Kobe.

Akhirnya pada 17 Maret 1945 pesawat pengebom B-29 meluluhlantakkan hampir seluruh bangunan di Kobe dan menewaskan 8.841 jiwa. Setelah itu Kobe kembali dihujani serangan bom sebanyak enam kali sampai tanggal 30 Juli 1945. Akibat serangan-serangan ini sebagian besar kota Kobe menjadi hancur lebur.

Ketika bangunan di sekitarnya hampir rata dengan tanah, Masjid Muslim Kobe tetap berdiri tegak. Masjid ini hanya mengalami keretakan pada dinding luar dan semua kaca jendelanya pecah. Bagian luar masjid menjadi agak hitam karena asap serangan bom. Tentara Jepang yang berlindung di basement masjid selamat dari ancaman bom, begitu juga dengan senjata-senjata yang disembunyikannya. Masjid ini kemudian menjadi tempat pengungsian korban perang.

Setelah perang berakhir, pada 1947, umat Muslim Tartar, India, dan lainnya berangsur kembali ke Kota Kobe. Masjid Muslim Kobe dikembalikan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang kepada komunitas Muslim. Renovasi besar-besaran kemudian dilakukan pada masjid yang diselamatkan Allah SWT dari bencana perang ini.

Pemerintah Arab Saudi dan Kuwait menyumbang dana renovasi dalam jumlah yang besar. Kaca-kaca jendela yang pecah diganti dengan kaca-kaca jendela baru yang didatangkan langsung dari Jerman. Sebuah lampu hias baru digantungkan di tengah ruang shalat utama. Sistem pengatur suhu ruangan lalu dipasang di masjid ini.

Sekolah yang hancur akibat perang kembali direnovasi dan beberapa bangunan tambahan pun mulai dibangun. Umat Islam kembali menikmati kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di Masjid Muslim Kobe.

Krisis keuangan sering menghampiri kas komite masjid. Pajak bangunan yang tinggi membuat komite masjid harus mengeluarkan cukup banyak biaya dari kasnya. Beruntung, banyak donatur yang siap memberikan uluran tangannya untuk menyelesaikan masalah keuangan pembangunan dan renovasi masjid ini. Donasinya bahkan bisa membuat Masjid Muslim Kobe menjadi semakin berkembang.

Pada 1992 Masjid Muslim Kobe memiliki fasilitas Pusat Islam berupa bangunan kelas, ruang resepsi, perpustakaan, kantor, dan bangunan apartemen. ed: syahruddin e


Saksi Sejarah Gempa 7,3 SR di Kobe

Tanggal 17 Januari 1995 di Kobe, pagi hari itu jam menunjukkan pukul 05.46.46. Sebuah bencana kembali menimpa kota terbesar keenam di Jepang ini. Gempa bumi berkekuatan 7,3 Skala Richter (SR) mengguncang Kobe selama 20 detik.

Gempa bumi ini menimbulkan korban jiwa sebanyak 4.600 orang, sekitar 35 ribu orang luka-luka, lebih dari 300 ribu orang kehilangan tempat tinggal, dan lebih dari 180 ribu unit bangunan rusak berat.

Kota Kobe saat itu kembali hancur berantakan, akan tetapi Masjid Muslim Kobe tetap berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan di sekitarnya. Kuil Ikuta yang merupakan kuil paling bersejarah di Kobe rusak berat. Begitu juga dengan sebuah gereja yang terletak berdekatan dengan masjid.

Pemandangan luar biasa ini menjadikan Masjid Muslim Kobe sebagai sorotan penting dalam pemberitaan di media massa. Pada saat itu masjid ini menjadi tempat penyelamatan para korban gempa dan juga sekali lagi kembali menjadi tempat pengungsian.

Masjid Muslim Kobe kini tetap berdiri kokoh. Basement masjid tetap digunakan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan. Lantai pertama masjid digunakan untuk ruang shalat pria, sedangkan lantai kedua dipakai untuk jamaah wanita. Lantai ketiga sering dipakai untuk kegiatan keagamaan lainnya dan juga sering dijadikan sebagai ruang shalat tambahan.

Di samping masjid terdapat sebuah bangunan Pusat Islam dan lapangan parkir luas yang juga sering dipakai sebagai tempat shalat tambahan pada waktu shalat Jumat atau shalat Ied. Di sekitar masjid terdapat beberapa toko dan restoran yang menjual makanan halal.

Seperti masjid lainnya, siapa pun dipersilakan untuk datang ke masjid ini, hanya saja pengunjung harus berpakaian sopan, tidak mengeluarkan suara keras ketika berada di dalam masjid, dan menjaga anak-anak supaya tidak berlarian.

Pada hari Sabtu dan Ahad, masjid ini menyelenggarakan kelas pembelajaran Islam bagi anak-anak, wanita, dan pria. Masjid ini juga melayani acara pernikahan, pemakaman, konferensi, dan bimbingan haji.

Sejak 75 tahun yang lalu sampai saat ini, Masjid Muslim Kobe tetap menjadi salah satu ikon terpenting yang mencerminkan sejarah dan keberadaan umat Islam di Jepang. syarif abdussalam ed: syahruddin e

Older Posts »

Categories